BRID

Blogger Reporter Indonesia

Senin, 17 Maret 2014

Catatan dari FGD dengan Balitbang Kemdikbud tentang Ujian Nasional

Baiklah, saatnya saya melaporkan hasil Focus Group Discussion tentang Ujian Nasional dengan Balitbang Kemdikbud kemarin [24/10]. Ceritanya bermula saat saya menulis artikel berisi kritik terhadap Ujian Nasional dengan judl "Kuda Mati Bernama Ujian Nasional" yang dimuat oleh Media Indonesia pada tanggal 15 Oktober lalu. Tak disangka malamnya saya mendapat telepon dari pak Patdono Suwignjo, dosen saya di Teknik Industri - ITS dulu [ya, saya satu almamater dengan pak Nuh, bahkan beliau yang mewisuda saya dulu] yang sekarang adalah salah satu staf ahli Mendikbud. Pak Patdono mengatakan bahwa Balitbang Dikbud akan mengadakan FGD khusus membahas tentang Ujian Nasional dan mengundang saya untuk hadir. Wah, reaksi yang sangat cepat! Setelah mengalami penundaan sekali, FGD dijadwalkan berlangsung kemarin [24/10] dengan mengundang 18 petinggi Dikbud, 5 orang di luar Dikbud yang kritis terhadap UN, dan ada 1 lagi mantan petinggi Dikbud. Yang jadi hadir tentu tak sebanyak itu, tapi tak sampai setengahnya. Sehari sebelumnya, pada tanggal 23 Oktober, terbit tulisan di Media Indonesia oleh pak Sukemi, Stafsus Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media, dengan judul Mitos Keliru tentang Ujian Nasional yang menjadi bantahan untuk tulisan saya sebelumnya. Rupanya tulisan saya, tulisan pak Sukemi dan rencana FGD ini telah menjadi perbincangan hangat di beberapa grup pendidikan. Seharian sebelum FGD saya menerima banyak email dan sms dari teman-teman pemerhati UN yang memberikan saya titipan argumen dan opini untuk disampaikan di FGD, termasuk bantahan mereka terhadap tulisan pak Sukemi. Saya terutama dapat bahan tambahan dari pak Iwan Pranoto, Satria Dharma, Daniel Rosyid, Habe Arifin dan Sulistyanto Soejoso. [Terima kasih, Bapak2 sekalian.] Singkat cerita saya pun berangkat ke FGD pagi itu. Bertempat di Hotel Ambhara, saya pertama bertemu dengan pak Patdono yang kemudian mengenalkan saya pada Bapak/Ibu dari Kemdikbud yang sudah hadir. [Catatan: demi mempersingkat catatan, saya tak perlu sebutkan gelar dari masing2 orang ya.] Pak Patdono bercerita bahwa FGD semacam ini rutin diadakan oleh Dikbud sesuai dengan perintah pak Nuh yang mendorong berbagai bagian di Dikbud untuk rajin menampung pendapat dari masyarakat. Alhamdulillah, perlu diapresiasi, apalagi bila sampai pada tindak lanjut. Acara dibuka oleh moderator, pak Hurip Danu Ismadi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Pak Danu sempat berkata bahwa kritik itu seperti obat, walau pahit kalau diminum dengan dosis yang pas akan menyehatkan, tapi kalau over dosis bisa bikin mati. He3, sindiran pertama ini. Acara kemudian dibuka dengan sambutan oleh pak Khairil Anwar Notodiputro, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan. Ia bercerita bahwa ini adalah FGD kedua yang diadakan tentang UN dan forum semacam ini diperlukan oleh Dikbud untuk menangkap aspirasi masyarakat, termasuk yang bersifat kritik. Ia kemudian berkata bahwa kritik ada yang proporsional tapi ada juga yang berlebihan alias lebay. Yak, sindiran kedua. Ia berkata bahwa banyak kritikan tentang UN yang bersifat generalisasi alias menganggap kejadian kecil sebagai kejadian yang meluas. Banyak juga kritikan UN yang bersifat observasi dan hipotesa, yaitu hanya bersifat dugaan dan tidak didukung riset dan kajian. Satu lagi, ia juga bilang bahwa banyak kritik UN tidak terkait dengan teknis maupun pembelajaran, namun bersifat politisasi, misal kritikan UN yang menganggap bahwa UN akan menyebabkan guru2 yg jelek akan "tersingkir". Saya tak pernah dengar kritik yang terakhir ini sih. Pak Khairil menyatakan juga bahwa kritikan bisa terjadi karena dua hal: perbedaan persepsi dalam memandang Ujian Nasional, dan juga perbedaan algoritma. Contoh dari perbedaan algoritma: ada yang memandang UN hanya bisa dilaksanakan sesudah semua standar kualitas layanan pendidikan terpenuhi secara merata, sedangkan Dikbud justru anggap UN diperlukan untuk memetakan kualitas pendidikan itu maka harus dilakukan sebelumnya. Setelah itu pak Khairil menerangkan beberapa contoh kritik terhadap UN dengan menyebutkan kritikan yang saya tulis di artikel, yaitu tentang UN bersifat high stake test dan kualitas soal yang low order of thinking, dan juga beberapa kritik lain seperti UN dianggap tidak konstitusional dan UN adalah satu-satunya penentu kelulusan. Ia menyatakan bahwa semua hal ini bisa dijawab oleh teman-teman Kemdikbud dalam diskusi ini. Ia juga menyatakan bahwa tidak pernah ada yang mengkritik tentang Ujian Sekolah yang tidak dilakukan dengan baik oleh banyak sekolah, padahal US juga menentukan kelulusan dan ia berharap UN dan US bisa saling melengkapi dengan baik. Pak Khairil juga mempresentasikan tentang sejarah ujian negara yang selalu ada sejak jaman kemerdekaan. Ia juga menampilkan dalam masing-masing format ujian negara, siapa yang menentukan kelulusan, apakah sekolah, negara, atau keduanya. Kelulusan saat ini ditentukan oleh sekolah dan negara. Setelah ini semua, ia kemudian mempersilahkan diskusi dimulai. Yang bicara pertama adalah pak Patdono sebagai Staf Ahli Mendikbud Bidang Pemantauan dan Pengembangan Organisasi. Ia hanya bicara singkat dan mengatakan bahwa berbagai kritik tentang UN sudah menjadi pembahasan sehari-hari di Dikbud dan banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan, alias sebenarnya sudah dilakukan oleh Kemdikbud tapi tidak diketahui masyarakat luas. Ia juga menyatakan ada kritik-kritik yang kontradiktif, misal soal dibilang terlalu mudah tapi kok juga dikritik bikin stress. [Rupanya ia salah menangkap kritikan tentang soal nirnalar sebagai menganggap soal terlalu mudah. Ia perlu baca tulisan pak Iwan Pranoto tentang ini. Soal bisa penuh dengan hapalan dan perhitungan rumit sehingga sulit, namun tetap bersifat nirnalar. Lagipula, stress di UN bukan disebabkan oleh tingkat kesulitan soalnya per se, namun lebih karena sifatnya yang high risk bagi siswa, guru dan sekolah.] Namun ia menyatakan hal ini adalah pertanda bahwa sosialisasi dan komunikasi yang diadakan Kemdikbud terkait UN kepada masyarakat belum berjalan efektif. Pembicara berikutnya adalah pak Akhmad Muchlis dari FMIPA-ITB yang juga salah satu kontributor Buku Hitam Ujian Nasional. Pak Muchlis menyampaikan bahwa ada tiga masalah yang ia lihat dalam UN, yaitu: pengukuran, pemanfaatan, dan dampak dari UN. Untuk pengukuran ia menanyakan apa perbedaan antara anak ang mendapat nilai 6 dan nilai 8 di UN. Tak banyak analisa yang bisa dimunculkan dari situ karena tidak ada profiling kompetensi yang jelas untuk UN. Masalah lain dalam pengukuran adalah kualitas soal. Dalam UN kebanyakan soal bersifat imitative reasoning, bukannya creative reasoning. Maka untuk lulus UN cukup dengan low order of thinking. Tentu saja beliau menjelaskan dengan panjang, namun saya tulis ringkasannya saja. Masalah berikutnya adalah UN sebagai pemetaan. Bila ia adalah pemetaan maka mana hasilnya dan apa saja yang bisa kita pelajari dari hasil itu. Lalu kemudian apa saja intervensi yang bisa dilakukan. Sebelumnya ada slide yang ditampilkan oleh teman-teman Dikbud saat pak Khairil bicara, tentang contoh intervensi yang dilakukan terhadap sekolah yang bernilai rendah. Menurut pak Muchlis, dari contoh intervensi itu terlihat bahwa intervensi yang dilakukan tidaklah cukup dan tidak komprehensif, karena memang data yang dihasilkan tidak komprehensif pula. Masalah ketiga adalah dampak UN, yaitu teaching-to-the-test alias guru hanya menyiapkan siswa untuk lulus tes, serta pemampatan pembelajaran di mana guru menyampaikan kurikulum kelas terminal dalam waktu hanya setengah tahun ajaran lebih sedikit, lalu sisanya dipakai untuk persiapan UN. Dua dampak ini tentu saja tidak membawa manfaat untuk pembelajaran. [Saya tak ada tanggapan untuk ini, lha ya memang saya setuju. Saya cuma heran aja pak Khairil bilang kalau kebanyakan kritik UN tak terkait dengan pembelajaran dan teknis, tapi lebih bersifat politisasi. Lha kritik pak Muchlis ini adalah contoh kritik yang sepenuhnya tentang pembelajaran, dan kritik semacam ini sudah sering disuarakan.] Giliran berikutnya adalah giliran saya. Ini jadi satu-satunya kesempatan saya bicara, cukup lama, sekitar 25 menit. Memang kebanyakan peserta hanya sempat bicara satu kali, tapi waktunya lama. Saat mengenalkan saya, pak Danu sebagai moderator sempat menyebutkan judul artikel saya, "Kuda Mati Bernama Ujian Nasional". Lalu ia berkata, "Menarik ini, masa' kita disamakan dengan kuda?" Lah, sudah jelas yang saya analogikan dengan kuda mati itu adalah Ujian Nasional yang saya anggap tak efektif penuhi tujuannya. Kenapa ia yang merasakan disamakan dengan kuda? Yah, sudah lah, saya senyum saja sambil teringat tweet pak Iwan Pranoto yang membahas kemampuan literasi pejabat Dikbud. Saya sempat bingung mau bicara apa lagi karena apa yang mau saya bicarakan berdasar artikel yang saya tulis itu sudah dibicarakan oleh pak Khairil dan pak Muchlis duluan. Saya membuka dengan mengenalkan diri dan Bincang Edukasi dulu. *ehem Sesudah itu saya bicara tentang para penentang UN itu beragam, ada spektrumnya, mulai dari yang hanya ingin menghapuskan kecurangan, sampai ang menghapuskan UN secara total. Maka kami yang ada di forum itu tak bisa dianggap mewakili seluruh spektrum penentang UN, sehingga perlu lebih sering diadakan forum pembahasan tentang UN dan alternatifnya. Saya lalu menyatakan apresiasi bagi Kemdikbud yang mulai melembagakan kritik dan berterima kasih karena saya diundang setelah menulis artikel itu, bahkan dibalas khusus oleh pak Sukemi yang sayangnya tidak bisa hadir. Saya katakan bahwa apa yang saya tulis di artikel itu tidaklah baru, sudah banyak yang menyuarakan dengan lebih lengkap, seperti apa yang ada di Buku Hitam Ujian Nasional. Hanya mungkin analogi yang saya gunakan baru dan cukup nyelekit sehingga menarik perhatian. Padahal ada juga yang menulis lebih sadis daripada saya, seperti Prof. Tilaar yang mengatakan bahwa UN adalah untuk kepentingan penguasa, menempatkan orang tua sebagai pesakitan, guru sebagai tertuduh, murid sebagai objek eksperimen penguasa dan sekolah sebagai penjara. Ngeri. Saya kemudian menegaskan lagi bahwa ada dua masalah besar di UN bagi saya. Masalah pertama adalah posisinya sebagai high stake test bagi murid, guru, sekolah dan pejabat Diknas daerah yang justru menyebabkan berbagai masalah turunan seperti teaching-to-the-test, penyempitan kurikulum, hierarkisasi mata pelajaran, kecurangan masif dan sistematis, budaya keterpaksaan belajar, budaya instan, budaya pragmatis, budaya nirnalar, dan lainnya. Semua ini justru merusak kredibilitas UN sebagai alat pemetaan. Masalah berikutnya adalah kualitas soal yang low order of thinking, tapi saya tak bahas panjang lebar karena sudah dibahas pak Muchlis. Saya hanya mempertanyakan bila UN tak hanya low order order of thinking seperti diklaim pak Sukemi lalu mengapa di tes perbandingan dan bersifat global seperti PISA siswa-siswa kita justru terpuruk sangat parah dan tidak naik-naik. Setelah itu, karena pak Sukemi tidak hadir dan tidak ada yang berencana mewakilinya menyampaikan tulisannya, maka saya pun memutuskan membahas tulisannya dan menyampaikan sanggahan. Tak semua sanggahan berasal dari saya karena sudah banyak yang membaca tulisannya dan mengirim pula sanggahan mereka melalui saya. Poin pertama pak Sukemi adalah tentang keputusan MA. Untuk hal ini saya hanya menyampaikan pada peserta untuk membaca tulisan Sammy Semino yang berjudul UN dan Kepastian Hukum. Tulisan itu membahas analisa semantik amar putusan MA tentang UN, terutama poin nomor 3. Silahkan baca tulisannya di tautan ini. Poin kedua tentang UN bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Untuk ini saya bilang semua penentang UN juga sudah tahu, memangnya kami tak baca koran. Lalu saya loncat membahas tentang poin nomor 4 yang masih terkait tentang kelulusan seorang siswa sangat bergantung pada sekolah dan dewan guru. Pak Sukemi mencontohkan bahwa bila anak lulus UN, pintar selama di sekolah, namun punya masalah moral di luar kewajaran, sekolah bisa tak meluluskannya. Namun sayang pak Sukemi tak menulis contoh sebaliknya bahwa bila anak pintar selama di sekolah, moralnya baik, namun UN jelek, ya tak lulus juga. Setelah itu saya menanggapi poin nomor 3 dan nomor 7 dari tulisan pak Sukemi tentang UN tidak hanya menguji low order of thinking. Pak Sukemi menulis bahwa mereka yang mengira bahwa UN hanya menguji low order of thinking adalah karena modelnya pilihan ganda. Halah. Ini meremehkan para profesor yang menyatakan bahwa UN hanya uji low order of thinking. Masa' mereka sebegitu bodohnya? Tentu saja bukan karena model pilihan berganda UN dibilang hanya uji low order of thinking, lha PISA yang uji tingkat kognisi yang lebih tinggi pun juga menggunakan pilihan berganda sebagai salah satu formatnya. Pilihan berganda memang punya keterbatasan, tapi bukan hanya karena itu UN dianggap hanya menguji low order thinking oleh para penentang UN. Pak Sukemi menulis bahwa UN juga menguji kemampuan analisa dan sintesa siswa. Nah ini, baru mulai berlebihan klaimnya. Saya sampaikan tanggapan yang dikirim pada saya oleh pak Daniel Rosyid bahwa tak mungkin UN yang berisi 40 soal dan harus dikerjakan dalam waktu 120 menit mampu menguji kemampuan analisa dan sintesa. Untuk uji sintesa, 120 menit itu hanya bisa untuk 1 soal, karena sintesa itu melibatkan proses analisa berulang, trial and error, membangun solusi kreatif [sedangkan pilihan jawaban yang disediakan justru mematikan kreativitas]. Yang lebih parah adalah poin nomor 7 di mana pak Sukemi menyatakan bahwa UN adalah multimeter untuk menguji kualitas siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode pengajaran, serta sarana dan prasarana. Luar biasa! Ini adalah alat uji terbaik di dunia! Saya sampaikan guyonan di suatu milis pendidikan yang mengatakan bahwa UN mengukur sedemikian banyak hal, maka untuk daerah seperti Jawa Tengah yang tingkat kelulusannya mencapai 99,98% maka sarana dan prasarana tak perlu ditingkatkan lagi, takutnya kalau ditingkatkan lagi nanti yang lulus malah 120%. Setelah itu saya menanggapi poin nomor 5 dan 6 dari tulisan pak Sukemi yang menganggap bahwa sudah biasa kalau ada peningkatan stress sebelum ujian. Saya katakan tentu saja ini menurunkan tingkat masalah. Kalau stress memang bisa baik bagi siswa, bahkan ada penelitian yang mengatakan lingkungan belajar yang bebas distraksi dan tantangan itu tak baik untuk pembelajaran. Namun seberapa tingkat stress yang baik dan seberapa yang sudah dianggap berlebihan. Tentu saja keluhan masyarakat terkait stress ini adalah karena melihat tingkat stress dari para pelaku pendidikan saat menghadapi UN yang sudah dianggap tak sehat. Setelah itu, poin nomor 8 dari tulisan pak Sukemi terkait dengan UN yang selalu bocor dan penuh kecurangan hanya dianggap mitos oleh beliau. Saya katakan, jangan khawatir, banyak teman-teman yang sudah, sedang dan akan terus mengumpulkan data terkait hal ini dan Dikbud harusnya bisa melihat juga bila tak menyengaja menutup mata. Untuk masalah stress dan kecurangan ini ternyata nanti dibicarakan detail beserta contoh-contoh kasusnya oleh bu Retno, guru SMA 13 yang juga mewakili Federasi Serikat Guru Indonesia. Terakhir, poin nomor 9, pak Sukemi menyatakan bahwa anggapan UN tak membawa manfaat bagi pendidikan Indonesia adalah mitos. Saya mengingatkan bahwa pak Akhmad Muchlis sebelumya sudah menyatakan bahwa UN memiliki tempatnya di Pendidikan Nasional dan bila diposisikan dengan baik tentu akan membawa manfaat. Masalahnya penempatannya saat ini sebagai exit exam yang bersifat high stake bagi para pelaku pendidikan justru menyebabkan UN tidak efektif dan tidak kredibel sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan. Saya katakan ulang bahwa saya tak menginginkan UN dihapuskan, namun UN selayaknya direposisi menjadi uji diagnostik [bukan penentu kelulusan] dan dilepaskan dari sifat high stake. Saya bahkan tak bermasalah bila Dikbud punya 10 macam uji diagnostik untuk siswa selama tak bersifat high stake dan tak difungsikan sebagai exit exam. Selain itu saya mengusulkan memperbanyak riset dan kajian komprehensif terkait Ujian Nasional, karena ada banyak kesempatan riset yang bisa dilakukan terkait UN yang dapat menjadi titik cerah dari perdebatan selama ini, tentu saja bila dilaksanakan dengan objektif dan ilmiah, serta terbuka untuk diverifikasi dan direplikasi. Saya pun mengakhiri sesi bicara saya. Setelah saya, yang berikutnya bicara adalah pak Hari Setiadi, Kepala Puspendik. Saya salut dengannya karena saya mendapat kesan ia santun, tak menutupi masalah dan terbuka terhadap pendapat berbeda. Contohnya, pernyataan pertamanya menanggapi pak Akhmad Muchlis dengan mengakui bahwa selama ini belum ada laporan komprehensif yang terbuka tentang hasil Ujian Nasional, dan menjadikan keterangan pak Muchlis sebagai masukan perbaikan ke depannya. Ia lalu menjelaskan bahwa UN memang bukan satu-satunya penentu, siswa bisa lulus tingkat satuan pendidikan walau tak lulus UN. [Kita semua tahu bahwa UN memang sudah bukan satu-satunya penentu kelulusan yang punya hak veto terhadap hasil sekolah, namun bukan berarti UN sekarang menjadi tak menentukan. Sifat high stake juga masih melekat karena UN dijadikan parameter bagi guru, sekolah dan daerah yang akan dianggap bagus atau jelek.] Ia lalu mengulang pernyataan pak Khairil bahwa belum ada yang memprotes tentang Ujian Sekolah yang tak dijalankan dengan baik oleh banyak sekali sekolah. Banyak sekolah justru memanipulasi nilai Ujian Sekolah agar lebih tinggi. [Para penentang UN justru melihat bahwa konsekuensi dari sifat high stake UN menjadi gamblang terlihat setelah US memiliki porsi 40% menentukan kelulusan sehingga banyak sekolah memanipulasi nilai US karena khawatir nilai UN siswanya tak mencukupi.] Ia berkata bahwa Dikbud berusaha membuat Ujian Sekolah bisa memiliki kualitas sebaik Ujian Nasional.[Nah, ini. Saya jelas tak setuju dengan pernyataan ini karena ia mengasumsikan bahwa US itu semuanya lebih jelek daripada UN, padahal banyak model US yang lebih baik daripada UN seperti menggunakan dynamic assessment atau portfolio assessment. Namun ia menyatakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan niat baik yang terlihat, maka saya menyadari bahwa memang hal itu yang sungguh-sungguh ia percayai.] Pak Hari kemudian menyatakan bahwa UN tidaklah bersifat high stake karena yang lulus saja sudah 95% maka tidak menakutkan. [Tentu saya berpendapat UN menakutkan atau tidak bukan dilihat dari tingkat kelulusannya, tapi dilihat dari risiko yang dihadapi mereka yang terkait dengan UN.] Ia lalu menyatakan bahwa sudah pernah melakukan berbagai diskusi tentang alternatif penempatan UN, termasuk apabila sekolah diberi kebebasan penuh apakah akan menggunakan UN 0% sampai 100%. Jadi sekolah menentukan sendiri apakah akan pakai UN 100%, atau US 100%, atau gabungan keduanya yang mereka tentukan sendiri proporsinya. [Setelah diskusi selesai pak Muchlis mengatakan pada saya bahwa ia mendukung bila Dikbud menerapkan ini.] Namun ia juga terpikirkan banyak hal lain, seperti apakah siswa akan meningkat motivasi belajarnya dan apakah siswa kita akan kompetitif bila tak ada UN sebagai penentu kelulusan. Rupanya ia terpengaruh mazhab forced learning, saya pernah menulis tentang apa yang ia tanyakan ini saat saya menanggapi tulisan Prof. Kacung Marijan. Pak Hari juga menerangkan bahwa yang dimaksud oleh pak Sukemi saat menulis UN adalah multimeter yang bisa mengukur banyak hal adalah: dari hasil UN, Kemdikbud bisa melihat sekolah-sekolah mana saja yang jelek, maka bisa dianalisa lebih lanjut faktor apa dari berbagai faktor yang disebutkan pak Sukemi yang meyebabkannya, lalu Kemdikbud bisa melakukan intervensi. Jadi hasil UN adalah entry point untuk Kemdikbud melakukan pembenahan. [Lagi-lagi, banyak asumsi yang tak tepat dalam pernyataan ini. Pertama, dari sini terlihat bahwa UN dianggap sebagai parameter tunggal kualitas pendidikan. Maka sekolah yang nilai UN-nya baik tak dianggap bermasalah dari segala faktor yang ditulis oleh pak Sukemi. Kedua, ia berasumsi bahwa nilai UN valid dan kredibel, tanpa kecurangan dan pengakalan oleh para pelakunya, maka yang nilainya baik memang benar-benar baik dan tak perlu intervensi.] Tapi saya senang melihat keterbukaan pak Hari Setiadi dalam menyampaikan pandangannya dan saya ingin berdiskusi lebih lanjut dengannya. Peserta berikutnya yang menyampaikan pendapat adalah pak Teuku Ramli Zakaria dari Badan Nasional Standarisasi Pendidikan. Pada saat beliau menyampaikan pendapatnya saya sedang disibukkan dengan catatan saya sehingga tak banyak yang sempat saya catat dari pernyataan beliau. Yang jelas, ia pun saya anggap sebagai orang yang mau mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat yang berbeda dengan sungguh-sungguh. Dari sesi bicaranya, saya hanya sempat mencatat bahwa UN berfungsi mengukur kompetensi minimal lulusan sekoah. Jadi UN adalah wujud akuntabilitas pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan. Saya sempat bertanya pada beliau sesudah diskusi, siapa yang berwenang menempatkan UN sebagai high stake exit exam. Ia menjawab bahwa hal itu diatur dalam PP No 19 Tahun 2005, jadi Dikbud ada dalam posisi melaksanakan amanah PP itu. Ia tampaknya terfokus tentang fungsi UN sebagai alat uji kualitas dan ia pun tampak peduli pada kualitas dan kredibilitas UN sebagai alat uji. Maka saya berdiskusi dengannya sesudah acara FGD selesai dan mengatakan bahwa penempatan UN sebagai high stake test memunculkan masalah-masalah turunan yang nyata di lapangan sehingga bisa menyebabkan hasil UN menjadi tak kredibel. Tentu ini bertentangan dengan kepentingannya. Ia mengatakan bisa memahami pandangan saya dan mengajak saya main ke BSNP di lain waktu untuk berdiskusi lebih lanjut. Saya menyanggupinya. Sebelum moderator pindah ke peserta berikutnya, pak Akhmad Muchlis melakukan interupsi dan menyatakan bahwa ia dan saya telah menyatakan dengan jelas dan eksplisit bahwa kami tak minta UN dihapus, namun direposisi sebagai alat uji diagnostik yang tak bersifat high stake exit exam. Maka tak perlu lagi teman-teman Dikbud berpikir dan mengatakan bahwa kami ingin menolak UN atau menghapuskannya secara total, karena akan menyebabkan diskusi tak efektif. Peserta berikutnya adalah pak Burhanuddin Tola. Saya belajar paling banyak darinya di FGD ini walaupun ia beda mazhab dengan saya. Sayangnya ia berbicara agak lompat-lompat seperti saya, maka saya agak kesulitan mencatat dan menceritakan kembali pernyataan2nya. Pak Burhan adalah ahli psikometri dan mantan petinggi di Kemdikbud yang ikut terlibat dalam penyusunan UU Sisdiknas serta perancangan Ujian Akhir Nasional di tahun 2003 lalu. Jadi ia adalah salah satu penggagas UN. Ia juga adalah country manager untuk PISA tahun 2009. Ia lalu bercerita tentang sejarah ujian negara di Indonesia yang membuat Indonesia menjadi unggul dan mengajari guru-guru di Malaysia. Namun pada tahun 1971 penentu kelulusan berubah menjadi Ujian Sekolah dan menurutnya ini adalah salah satu penyebab kemunduran kita. Sedangkan Malaysia sekarang juga jadi bagus karena dulu diajari cara melaksanakan ujian negara oleh Inggris. Ia bercerita bahwa ia adalah penganut Quality Assurance, Quality Control dan Quality Improvement. Untuk Indonesia ada permasalahan luas wilayah serta rasa kebersamaan. Itu adalah salah satu alasan mengapa ia usulkan satu tes untuk seluruh wilayah Indonesia untuk awalnya. Namun ia juga menyatakan bahwa dalam bayangannya dulu UN akan menjadi seperti PISA dan TIMMS yang menguji tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar kognisi rendah. Ia juga katakan bahwa UN tak seharusnya menjadi menakutkan bila melihat semangatnya di perancangan awalnya dulu. Di sesi lain ia sempat menanggapi pernyataan pak Darmaningtyas tentang UN tak bisa seragam di seluruh Indonesia dengan menyatakan bahwa dulu ada rencana membentuk Local Examination Agency yang bertugas menjadi badan penilaian pendidikan di tingkat daerah. Jadi tiap daerah bisa berbeda. Menurut saya ini sudah lebih mendekati yang ideal yaitu per sekolah. Ia bertanya pada forum [walau sebenarnya lebih ditujukan pada Kemdikbud], "Hanya masalahnya kita berani nggak?" Tapi ia juga menjelaskan bahwa ada masalah mendapatkan buy-in dari seluruh daerah bila ingin lakukan desentralisasi penilaian pendidikan. Ia khawatirkan daerah-daerah di Indonesia tak mau menerapkan standar penilaian rendah untuk daerahnya karena gengsi, maunya sama dengan yang tertinggi. Saya pikir ini kekhawatiran yang valid dan memang bisa jadi daerah justru berlomba menerapkan standar penilaian tinggi. Tugas pemimpin untuk memberi edukasi pada daerah. Saya merasa tak cukup baik dalam mencatat pernyataan-pernyataan beliau. Sayang juga karena saya ingin belajar darinya yang bermazhab standardized test sebagai penentu kelulusan, walau saya tak sealiran dengannya. Saya lebih cenderung setuju dengan Prof. Tilaar yang juga ia kenal baik. Tapi saya juga merasa bahwa ia beranggapan bukan seperti saat inilah Ujian Nasional yang direncanakannya dulu. Ia toh sempat menyebutkan bahwa yang ideal adalah Local Examination Agency, lalu soal-soal UN seharusnya bisa menyerupai PISA dan TIMMS, serta UN saat ini memang miskin dan dangkal dalam laporan. Oleh karenanya saya juga ingin berdiskusi lebih lanjut dengan beliau. Pembicara berikutnya adalah bu Retno, guru SMA 13 yang juga mewakili Federasi Serikat Guru Indonesia. Ia memulai dengan mengapresiasi forum dialog yang diadakan Kemdikbud, lalu melanjutkan dengan berbagai laporan dampak, kecurangan dan penyimpangan UN yang dikumpulkan oleh FSGI. Banyak sekali lah. Ia sampaikan dengan berapi-api, cepat, dan seperti tak ada habisnya segala permasalahan nyata di lapangan. Pada intinya, fakta-fakta yang ia sampaikan membuktikan argumen para penentang UN bahwa penempatan UN sebagai high stake bagi para pelaku pendidikan telah menimbulkan berbagai masalah turunan yang tak hanya menyebabkan UN tak kredibel, namun juga dampak yang lebih parah pada siswa, guru dan sekolah. Herannya, walau ia sudah bolak-balik menyatakan bahwa semua yang ia sebutkan itu ada data dan faktanya [bahkan beberapa ada videonya], beberapa orang Dikbud, termasuk pak Khairil Anwar dan pak Patdono, masih saja menyatakan bahwa kita tak boleh melakukan generalisir karena sebagian kecil penyimpangan UN kita anggap UN telah bermasalah secara masif. Ampun deh. Sepertinya rencana teman-teman IGI untuk mengumpulkan dan membukukan testimoni para siswa, guru dan ortu terkait penyimpangan UN dari seluruh Indonesia perlu segera diwujudkan. Setelah bu Retno bicara, pak Danu sebagai moderator sempat nyeletuk, "Ini menarik. Bayangkan bila UN saja dicurangi sedemikian rupa oleh para siswa dan guru, bagaimana bila kelulusan dikembalikan pada Ujian Sekolah?" Nah, ini pernyataan paling nggak ok dalam diskusi ini menurut saya. Kesimpulan macam apa itu? Bu Retno pun langsung berkomentar, "Belum tentu itu, Pak, belum tentu!" Yang bicara sesudah bu Retno adalah pak Darmaningtyas. Di sesi ini saya pun tak banyak mencatat apa yang diungkapkan beliau karena saya sibuk merapikan catatan saya. Mungkin juga karena saya merasa apa yang disampaikannya pasti lah sejalan dengan apa yang ia sampaikan selama ini tentang UN, bahwa UN selayaknya diposisikan benar-benar sebagai pemetaan yang lepas dari penentuan kelulusan. Ia banyak bercerita tentang perjalanan argumentasi para penentang UN sejak diluncurkan dahulu. Ia juga bercerita temuan penyimpangan dan pengalaman para guru yang dikenalnya terkait dengan UN. Ia menyebutkan bahwa tak layak seluruh Indonesia ini memakai satu ujian, lalu ia juga mengatakan bahwa tak apa bila UN berfungsi sebagai salah satu alat pemetaan kualitas pendidikan namun sungguh tak layak bila jadi satu-satunya parameter kualitas pendidikan. Setelah sesi pak Darmaningtyas ini ada beberapa orang yang tadi sudah bicara kembali berbicara singkat, tapi sudah sekalian saya tuliskan tadi saat membahas masing-masing peserta. Pak Patdono sebagai staf ahli kembali dipersilahkan bicara dan ia menyatakan bahwa perlu segera diadakan kajian-kajian komprehensif terkait UN ini karena selama ini masih terlalu sedikit, termasuk kajian tentang sistem ujian dan evaluasi di negara-negara lain. Ia lalu menyatakan pula bahwa ia saja mendapat laporan tentang UN karena diminta pak Nuh ikut mengawasi intervensi, jadi apabila ia tak diminta mungkin ia tak dapat laporan tentang UN, apalagi orang luar. Pernyataan ini diamini oleh bu Retno yang menyatakan pernah meminta hasil pemetaan UN dengan membawa surat berkop resmi dari FGSI, itu pun tak diberi oleh Kemdikbud. Jadi pak Patdono mendorong publikasi dan transparansi hasil pemetaan Ujian Nasional. Saya sepakat dengan kesimpulan pak Patdono, kecuali saat ia menyatakan penyimpangan UN sifatnya kasuistik dan tak bisa dijadikan alasan generalisasi bagi UN yang diikuti jutaan peserta. Selanjutnya yang bicara sebagai penutup adalah pak Khairil Anwar Notodiputro sebagai tuan rumah yang mengadakan acara. Ia menyatakan sekali lagi bahwa banyak kritik tentang UN yang bersifat lebay, generalisir dan hanya observasi atau hipotesa. Namun ia juga mengatakan bisa menemukan beberapa masukan yang bagus dari diskusi kali ini, terutama terkait posisi UN. Setelah itu ia mengatakan bahwa ada dua hal yang sama-sama disepakati dari pertemuan kali ini. Yang pertama, perlu segera diadakan riset/kajian komprehensif tentang berbagai alternatif posisi UN dalam Sisdiknas. Yang kedua, perlu segera diadakan riset/kajian komprehensif tentang alternatif alat uji dan evaluasi selain UN, terutama contoh-contoh best practices yang dilakukan negara-negara lain serta analisa kelayakan dan manfaatnya bila diterapkan di Indonesia. Nah, kenapa usulannya cuma riset? Ya maklum lah, yang adakan FGD ini kan Balitbang. Sedangkan pengambil keputusan tertingginya tak ikutan hadir. Tapi dari dua hal yang disepakati itu saja saya sudah melihat ada pengakuan Balitbang Dikbud tentang ketidakabsolutan posisi UN saat ini, bahkan tentang ketidakabsolutan format UN itu sendiri. Maka ini sudah satu langkah maju. Tapi ya hanya satu langkah. Masih harus didorong lebih jauh dengan melibatkan lebih banyak petinggi Dikbud, terutama mereka yang memegang wewenang mengambil keputusan strategis. Maka tentu saja, walau mengapresiasi inisiatif Kemdikbud melembagakan kritik serta mengapresiasi pula keterbukaan yang saya rasakan dari beberapa peserta diskusi dari Kemdikbud, tapi saya tak langsung puas dengan FGD kali ini dan akan terus memperjuangkan reposisi UN menjadi alat uji diagnostik, pelepasan sifat high stake dari UN, serta perbaikan kualitas soal UN menjadi lebih bernalar. Saya pun mendorong rekan-rekan pegiat pendidikan untuk ikut memperjuangkannya demi anak-anak bangsa. Perjuangan bisa dengan tulisan [ada yang ingin menanggapi tulisan pak Sukemi lagi? He3.], bisa juga dengan berdiskusi dengan mereka yang belum tersadarkan tentang UN yang penuh dengan kontroversi. Sebagai referensi awalan, saya rekomendasikan teman2 cari dan baca Buku Hitam Ujian Nasional yang ada di toko buku untuk mendapat gambaran dari para pakar dan praktisi pendidikan yang kritis terhadap UN. Bagaimana dengan referensi yang pro UN? Tunggu saja, kabarnya Kemdikbud sedang menyusun Buku Putih Ujian Nasional untuk mengimbangi "mitos keliru tentang UN" yang beredar di masyarakat. Tentu itu adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan layak kita tunggu untuk memancing diskursus yang berkelanjutan dan, semoga, berujung perbaikan nyata. Karena seperti kata pak Darmaningtyas dalam FGD, "Bukankah kita semua menginginkan pendidikan Indonesia yang lebih baik?" Salam pendidikan. ~Kreshna Aditya Catatan: Apa yang saya catat ini adalah sesuai dengan apa yang saya tangkap dalam diskusi. Tentu ada keterbatasan dalam kelengkapan dan mungkin juga akurasi. Yang jelas tak ada maksud mengurangi, menambah atau membelokkan konteks pernyataan-pernyataan yang ada. Apabila ada dari peserta diskusi yang membaca catatan ini dan merasa ada yng kurang atau tak akurat dalam pernyataan saya, mohon saya diberi tahu.

Tidak ada komentar: