BRID

Blogger Reporter Indonesia

Jumat, 28 Maret 2014

Merasakan kengerian bersama "Revalina S Temat"

Brrr... Dinginnya AC Studio Liputan6.com tak menyurutkan langkahku untuk menghadiri diskusi Film Horor yang berjudul : OO..Nina Bobo.

Rasa penasaran yang timbul karena pengambilan judul yang tidak biasa. Setahu saya pribadi lagu Oo Nina Bobo itu bukan sesuatu yang menyeramkan bahkan malah menenangkan dan melenakan hingga bisa membuat tertidur. 
Lalu kenapa dalam film ini justru lagu tersebut malah membuat bulu kuduk berdiri merinding?

film ini menceritakan seorang dokter jiwa (Revalina S.Temat) yang mengambil thesis meneliti seorang anak (Firman 12th) yang mengalami PTSD (post-trhaumatic stress disorder), dimana keluarganya dibantai dan diduga meninggal karena hantu yang ada dirumahnya.

Tema cerita horror yang dibangun oleh Jose Purnomo masih membentuk "containtment" one house horor yang artinya cerita ditekankan berada dalam satu rumah atau tempat yang mereka tidak bisa keluar bebas sampe selesai menyelesaikan masalahnya. layaknya rumah kentang, conjuring atau insidious. nuansa "dark" disertai dengan latar belakang cerita yang telah universal membuat film ini bisa ditonton oleh siapa saja dan dimana saja. Meski segmen yang disasar Remaja (12-18 tahun), namun kengerian bisa membuat semuanya merinding dan menegang. 

Berbeda dengan film-film horor indonesia belakangan ini, yang lebih suka menjual fisik dari pemerannya, film ini jauh dari hal-hal seperti itu. "aku pertama kali dapet peran jadi dokter, jadi emang sulit dan banyak tantangannya dalam film ini. tapi emang seneng sih bisa dapet pengalaman baru gitu" aku Revalina. "seru banget, ini film pertama aku" imbuh dari firman yang memerankan "ryan" dalam film tersebut. "film ini horrific, bukan gore (berdarah-darah) atau sampai violent (kekerasan)" tegas om jose, sapaan akrab buat sang sutradara. yang film ini memang berbeda dengan film-film horor lainnya.

Dalam acara ini juga di tampilkan akting dari Firman ketika kejang-kejang. mengagetkan.

Pertanyaan-demi pertanyaan mengalir dan dijawab dengan lancar dan seru. diselingi joke-joke segar dari narasumber dan presenter. apalagi di sebelah saya duduk teman yang ketawanya paling keras hahaahaha. 

So apalagi yang ditunggu? Cobain kengerian bersama Revalina S.Temat dalam film :Oo Nina Bobo
 

Kamis, 27 Maret 2014

What? Kirim uang semudah kirim pulsa? Masa Sih?

Itulah berondongan pertanyaan yang ku dapat dari temanku ketika pulang dari acara DPTalk pada hari Sabtu tanggal 22 Maret 2014 yang di selenggarakan oleh Dari Perempuan.com bekerjasama dengan CIMB Niaga.

Praktis dan gak ribet yah. itulah kesimpulan dari temanku yang tukang jalan alias Backpacker, setelah panjang lebar aku jelaskan tentang "Rekening Ponsel" ini. Betapa dunia begitu mudah dan ada dalam genggaman ketika makan di warteg tidak perlu pake uang cash karena kebetulan dompet ketinggalan. hehehe.

 Rekening Ponsel atau bertransaksi dengan menggunakan nomor handphone /seluler merupakan teknologi pertama di Indonesia yang diluncurkan oleh CIMB Niaga Bank. Teknologi ini bisa menjamin kita mengirimkan / mentransfer uang ke nomor ponsel operator manapun tanpa rekening Bank. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah nomor ponsel di Indonesia melebihi jumlah penduduknya. Wow merupakan suatu keuntungan tersendiri/ peluang bagi kita yang ada di jalur bisnis. sangat memudahkan. Tanpa biaya, tanpa batasan operator, uang bisa ditarik tunai tanpa kartu di ATM atau bisa di Alfamart. Wow laginya tanpa menyisakan uang seperak pun tidak masalah lho.   Sayang hanya satu kekurangannya karena adanya aturan BI (Bank Indonesia) maka Rekening Ponsel ini saldonya cuma bisa maksimal 5 juta Rupiah saja.
Berikut ini foto liputannyah sorry yaa kalau narsis hahaahaha


Anyway Busway kalau anda pingin tahu banyak tentang rekening Ponsel bisa melalui berbagai Layanan Rekening Ponsel yang dapat diakses melalui segala jenis perangkat mobile.

 Pengguna dapat mengakses Rekening Ponsel melalui beberapa platform yang berbeda, antara lain:

 1. Aplikasi Go Mobile (Dapat diunduh di apps store Apple iTunes, Android, Blackberry, atau melalui link https://mobile.cimbclicks.co.id/apps/ )

 2. SMS Menu (Kirim SMS 'Go Mobile' ke 1418)

 3. WebBrowser Go Mobile (melalui link: https://mobile.cimbclicks.co.id/wap)

Eitttss.. ati-ati jangan senang dulu, tetap eling dan waspada dalam bertransaksi online , ikutilah saran-saran dari Mas Prenavit dari Internet Sehat berikut ini:


 - Lindungi perangkat kita dengan anti virus

 - Jangan sebarangan pinjam punya orang lain kalau kita mau mengakses transaksi atau apapun, karena akan dengan mudah mencari history transaksi.

 - Dalam pencarian alamat situs usahakan mengetik URL dengan lengkap, jangan asal mengetik di pencarian Google karena ini akan memunculkan url yang sepertinya sama tapi menjebak, apalagi kalau url yang kita cari untuk bertransaksi.

 - Perlu diwaspadai saat kita berada di area bebas yang free wifi, karena biasanya area ini tidak menggunakan security online. Tanpa sadar bisa aja ada orang yang berniat jahat bisa melihat apa saja yang sedang kita akses, dan lebih bahaya lagi kalau kita melakukan transaksi, bisa-bisa dengan hanya mengakses wifi, nomor pasword kita disave orang yang tidak bertanggung jawab.

Senin, 17 Maret 2014

cocoklogi atau toponimi asal usul nama di Batavia-Betawi Asli (Al-Kisah)

1. Glodok. Asalnya dari kata grojok yang merupakan sebutan dari bunyi air yang jatuh dari pancuran air. Di tempat itu dahulu kala ada semacam waduk penampungan air kali Ciliwung. Orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa menyebut grojok sebagai glodok karena orang Tionghoa sulit mengucap kata grojok seperti layaknya orang pribumi. 2. Kwitang. Dulu di wilayah tersebut sebagian tanah dikuasai dan dimiliki oleh tuan tanah yang sangat kaya raya sekali bernama Kwik Tang Kiam. Orang Betawi jaman dulu menyebut daerah itu sebagai kampung si kwitang dan akhirnya lama-lama tempat tersebut dinamai Kwitang. 3. Senayan. Dulu daerah Senayan adalah milik seseorang yang bernama Wangsanaya yang berasal dari Bali. Tanah tersebut disebut orang-orang dengan sebutan Wangsanayan yang berarti tanah tempat tinggal atan tanah milik wangsanayan. Lambat laun akhirnya orang menyingkat nama wangsanayan menjadi senayan. 4. Menteng. Daerah Menteng Jakarta Pusat pada zaman dahulu kala merupakan hutan yang banyak pohon buah-buahan. Karena banyak pohon buah menteng orang menyebut wilayah tersebut dengan nama kampung menteng. Setelah tanah itu dibeli oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1912 sebagai lokasi perumahan pegawai pemerintah Hindia Belanda maka daerah itu disebut Menteng. 5. Karet Tengsin. Nama daerah yang kini termasuk kawasan segitiga emas kuningan ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Teng Sien. Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada orang-orang sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah itu dikenal dengan nama Karet Tengsin. 6. Kebayoran. Kebayoran berasal dari kata kebayuran, yang artinya "tempat penimbunan kayu bayur". Kayu bayur yang sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena kekuatanya serta tahan terhadap rayap. 7. Lebak Bulus. Daerah yang terkenal dengan stadion dan terminalnya diambil dari kata "lebak" yang artinya lembah dan "bulus" yang berarti kura-kura. Jadi lebak bulus dapat disamakan dengan lembah kura-kura. Kawasan ini memang kontur tanahnya tidak rata seperti lembah dan di kali Grogol dan kali Pesanggrahan- dua kali yang mengalir di daerah tersebut-memang terdapat banyak sekali kura-kura alias bulus. 8. Kebagusan. Nama kebagusan, daerah yang menjadi tempat hunian mantan presiden Megawati, berasal dari nama seorang gadis jelita, Tubagus Letak Lenang. Konon, kecantikan gadis keturunan kesultanan Banten ini membuat banyak pemuda ingin meminangnya. Agar tidak mengecewakan hati pemuda itu, ia akhirnya memilih bunuh diri. Sampai sekarang makam itu masih ada dan dikenal dengan nama ibu Bagus. 9. Ragunan. Berasal dari Wiraguna, yaitu gelaran yang di sandang tuan tanah pertama kawasan tersebut berna ma Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa. 10. Pasar Rumput. Dulu, tempat ini merupakan tempat berkumpulnya para pedagang pribumi yang menjual rumput. Para pedagang rumput terpaksa mangkal di lokasi ini karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke permukiman elit Menteng. Saat itu, sado adalah sarana transportasi bagi orang-orang kaya sehingga hampir sebagian besar penduduk Menteng memelihara kuda. 11. Paal Meriam. Asal usul nama daerah yang berada di perempatan Matraman dengan Jatinegara ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1813. Pada waktu itu pasukan artileri meriam Inggris yang akan menyerang Batavia, mengambil daerah itu untuk meletakan meriam yang sudah siap ditembakan. Peristiwa tersebut sangat mengesankan bagi masyarakat sekitar dan menyebut nama daerah ini paal meriam (tempat meriam disiapkan). 12. Cawang. Duku, ketika belanda berkuasa, ada seorang letnan Melayu yang mengabdi pada kompeni, bernama Ende Awang. Letnan ini bersama anak buahnya bermukim di kawasan yang tak jauh dari Jatinegara. Lama kelamaan sebutan Ence Awang berubah menjadi Cawang. 13. Pondok Gede. Sekitar Tahun1775, Lokasi ini merupakan lahan pertanian dan peternakan yang disebut dengan Onderneming. Di sana terdapat sebuah rumah yang sangat besar milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman. Karena merupakan satu-satunya bangunan besar yang ada di lokasi tersebut, bangunan itu sangat terkenal. Masyarakat pribumi pun menjulukinya "Pondok Gede" 14. Condet Batu Ampar dan Balekambang. Pada jaman dahulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai Polong, memiliki beberapa orang anak. Salah satu anaknya, perempuan, di beri nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Pangeran Astawana, anak pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makassar pun tertarik melamarnya. Siti Maemunah meminta dibangunkan sebuah rumah dan tempat peristirahatan diatas empang, dekat kali Ciliwung yang harus selesai dalam satu malam. Permintaan itu disanggupi dan menurut legenda, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Ciliwung. Untuk menghubungkan rumah itu dengan kediaman keluarga pangeran Tenggara, dibuat jalan yang diampari (dilapisi) Batu. Demikian menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut batu ampar, dan bale (balai) peristirahatan yang seolah-olah mengambang di atas air itu disebut Balekambang. 15. Buncit: dulunya di jalan buncit raya sekarang ada pedagang kelontong China berperut gendut (Buncit) yang terkenal. 16. Bangka: dulunya di sana banyak ditemukan mayat (bangke/bangkai) orang yang dibuang di kali krukut. 17. Cilandak: konon di sana pernah ditemukan seekor landak raksasa 18. Tegal Parang: di sana banyak ditemukan alang-alang tinggi (tegalan) yang di potong dengan parang (golok). 19. Blok A/M/S: dulunya sekitar situ tempat pembukaan perumahan baru yang ditandai dgn blok, mulai A-S. Sayang yang tersisa tinggal 3 blok doang. 20. Kampung Ambon. Berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, nama Kampung Ambon sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon lalu merekrut masyarakat Ambon untuk dijadikan tentara. Pasukan dari Ambon yang dibawa Coen itu kemudian diberikan pemukiman di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Sejak itulah pemukiman tersebut dinamakan Kampung Ambon. 21. Sunda Kelapa. Sunda Kelapa merupakan sebutan sebuah pelabuhan di teluk Jakarta. Nama kelapa diambil dari berita yang terdapat dalam tulisan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan itu adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda maka kemudian pelabuhan ini disebut Sunda Kelapa. 22. Pasar Senen. Pasar Senen pertama kali dibangun oleh Justinus Vinck. Orang-orang Belanda menyebut pasar ini dengan sebutan Vinckpasser (pasar Vinck). Tetapi karena hari pada awalnya Vinckpasser dibuka hanya pada hari Senin, maka pasar itu disebut juga Pasar Senen (disesuaikan dengan kebiasaan orang-orang yang lebih sering menyebut Senen ketimbang Senin). Namun seiring kemajuan dan pasar Senen semakin ramai, maka sejak tahun l766 pasar ini pun buka pada hari-hari lain. 23. Taman Anggrek. Berawal dr keinginan bu Tien untuk mengambil kebon anggrek milik juragan tanah Sunda bernama Rasman, yang dikenal orang-orang sekitar dengan nama H. Rasman karena dia memiliki tanah berhektar-hektar di Cipete. Jadi bu Tien mengambil bunga-bunga anggrek tersebut dengan niat membeli (tapi namun tidak dibayar) yang akhirnya di pindahkan ke daerah Jakarta Barat yang sekarang jadi Mall Taman Anggrek. Kemudian di pindahkan lagi ke yang sekarang semua orang ketahui ada di Taman Mini Indonesia Indah. Walaupun bunga-bunga anggreknya sudah tidak ada, namun Jl. Kebon Anggrek masih ada juga sampai sekarang. Lokasinya di Cipete (seberang SMA Cendrawasih). 24. Grogol. Grogol berasal dari bahasa Sunda (g a r o g o l) yang artinya perangkap terdiri dari tombak-tombak yang digunakan untuk menangkap hewan liar yang banyak terdapat di hutan. Nama Garogol dipasang sebagai nama sebuah desa di Limo Depok. Dahulu kawasan ini memang masih hutan liwang-liwung yang kata pak dalang "jalma mara-jalma mati" alias menyeramkan. Sudah barang tentu di kawasan ini banyak terdapat hewan liar dan buas sehingga penduduk setempat memburunya dengan memasang perangkap (garogol). Hewan yang masuk ke perangkap mirip ciptaan "geek" alias soldadu Vietnam dijamin akan mati tertembus ujung tombak yang menganga didasar lubang. Tapi belum jelas apakah jaman dulu ada keresahan masyarakat bahwa kambing mereka pada tewas karena darahnya dihisap oleh "mahluk misterius" yang sekarang kian marak di Depok. Konsekuensinya kali yang melewati desa ini juga dinamai kali Garogol. Penduduk Betawi yang main gampang saja, setiap ada desa dilalui kali ini langsung di beri stempel desa Grogol, kampung Grogol. Repotnya pada peta keluaran tahun 1903, ada kampung bernama Grogol di kawasan Pal Merah. Dari Pal Merah, kali Grogol melewati Taman Anggrek untuk menuju ke kawasan Pluit (jalan Latumeten) dan tiba pada satu daerah yang kini disebut Grogol- Negeri Tanah Tumpah Darah Anak Beta. Kalau yang memberi nama orang jaman sekarang bisa-bisa namanya "Grogol Perjuangan". Pada 1928, sebagian Kali Grogol diuruk oleh Kumpeni. Pasalnya volume air yang mengalir di banding kapasitas kali sering tidak memadai. Dan ini bisa mengancam kehidupan kastil sehingga harus dialirkan keluar kawasan kastil. Pada 1950-an kawasan Grogol menjadi populer. Karena tercatat terlanggar banjir bandang yang merendam kelurahan ini. Untuk pengendalian banjir di bangun pula waduk Grogol yang letaknya di jalan dr. Semeru (Sumeru) sekarang ini. Di tengah waduk ada air muncrat yang memang agak indah tetapi meresahkan masyarakat. Pasalnya air yang muncrat tadi kualitasnya kurang bagus sering ketika butiran air yang menjulang tinggi lalu di tiup angin pantai, maka banyak baju penduduk yang sedang dijemur tiba-tiba saja diberi tambahan noda kuning dan berbau got. Bertepatan dengan alat pompa yang sering ngadat, maka pemandangan air muncrat sudah nyaris tidak dipertunjukkan. Soal nama jalan juga unik. Nama jalan di sini mengambil nama pahlawan seperti Latumeten, Sumeru, Mawardi, Susilo. Semeru adalah nama dari Dokter Sumeru salah satu tokoh pejuang bangsa Indonesia, disamping nama Dokter Mawardi, Dr. Susilo. Lalu lidah Jawa mulai mengubahnya menjadi Semeru dan seperti keahlian bangsa ini, nama inipun di utak-atik lagi sehingga menjadi suatu statement bahwa S(u)meru adalah nama Gunung. Nama dokter Mawardi cuma kepleset sedikit menjadi dr. Muwardi. 25. Utan Kayu. Dulunya memang berbentuk hutan di samping basis prajurit Mataram mau menyerang Batavia. Hutan ini sumber kayu dari perumahan-perumahan maupun perkampungan para pengepung Batavia maupun benteng Belanda jaman dulu. Saking lebatnya hutan ini yang disertai rawa-rawa kemudian saat pembangunan daerah ini, mulai disebut Hutan Kayu yang kemudian dipersingkat menjadi Utan Kayu. Sisa kejayaan dari hutan ini masih dirasakan hingga saat ini di mana kawasan ini masih cukup hijau dan sejuk meski bukan termasuk dalam kawasan mewah seperti halnya Menteng. 26. Rawamangun. Melanjutkan cerita mengenai Utan Kayu, hutan yang sangat lebat disertai yang di dalamnya terdapat banyak rawa-rawa yang kemudian setelah masa perang dengan mataram selesai dan perluasan kota Batavia, mulai diterabas untuk pembangunan wilayah perumahan. Struktur tanah yang sifatnya rawa-rawa asalnya, membuat banyak pembangunan yang menggunakan pondasi ekstra dalam untuk wilayah ini, dan seperti halnya sifat rawa-rawa yang selalu berada di tengah hutan dan mirip halnya daerah Utan Kayu, Rawamangun juga masih relatif lebih hijau. 27. Hek. Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan kantor Polisi Resor Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya Bogor ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terus ke Pondokgede, dikenal dengan nama Hek. Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata hek berarti pagar. Tetapi menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen- Endpols, 1946:388), kata hek dapat juga berarti pintu pagar ("..raam-of traliewerk…") . Dari seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut, diperoleh keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung – ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar – besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar – masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran dan Kompleks polisi Resort Kramatjati. Sampai tahun tujuh puluhan kompleks tersebut masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata boerderij, yang berarti kompleks pertanian dan atau peternakan. Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu bagian dari Tanah Partikelir Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum Perang Dunia Kedua terkenal akan hasil peternakannya, terutama susu segar untuk konsumsi orang – orang Belanda di Batavia. (Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989). 28. Jalan Cengkeh. Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di samping sebelah timur Pasar Pisang. Dahulu jaman penjajahan Belanda, Jalan itu bernama Princenstraat, tetapi umum juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena disana terdapat batu bertulis. Kawasan sekitar batu prasasti Purnawarman, di Tugu juga biasa disebut Kampung Batutumbuh. Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur, yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan orang – orang Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan oleh orang – orang Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng, sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan Portugis yang dipimpin oleh Henriquez de Lemme, yang menurut Sukamto ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Batu bertulis itu diberi ukiran berupa lencana. Raja Immanuel. Rupanya de Leme beserta rombongannya belum mengetahui bahwa raja Portugal tersebut telah meninggal tanggal 31 Desember 1521. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang – barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda.. Mulai saat benteng dibangun pihak Sunda akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan barang – barang yang dibutuhkan (Sumber: Hageman 1867: Soekamto 1956: Danasasmita 1983) 29. Japat. Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata jaagpad berarti "Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu". Katanya jaag, dari jagen, artinya "berburu" Pad, artinya "jalan setapak" padahal, kata jaagpad tidak ada sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah istilah dalam pelayaran perahu. Pada alur sungai atau terusan yang dangkal, perahu yang melaluinya baru dapat bergerak maju, kalo ditarik. Pada jaman Kompeni Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum pelabuhan Tanjungpriuk dibuat, kapal – kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh di pelabuhan Batavia, yang sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat seperti sekarang, melainkan biasa membuang sauh masih jauh dilaut lepas. Pengangkutan orang dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu. Untuk mempermudah pendaratan, di sebelah timur Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang dibuat terusan khusus untuk perahu – perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan tersebut biasa menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir dari laut sehingga perahu kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar, berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa bergerak maju harus dihela beberapa kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan perahu, sebelah kiri dan kanan terusan. Terusan tersebut diuruk pada abad ke- 19, sehingga sekarang sulit untuk melacaknya. Yang tersisa hanya sebutannya jaagpad yang berubah menjadi japat, sebagai nama dari kawasan tersebut. 30. Jatinegara. Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu. Nama Jatinehara baru muncul pada kawasan tersebut, sejak tahun 1942, yaitu pada awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda. Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah Kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan dikawasan itu kepada Cornelis Senen adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari Lontor, pulau Banda. Setelah tanah tumpah – darahnya dikuasai sepenuhnya oleh kompeni, pada tahun 1621 Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan di kampung Bandan. Dengan tekun ia mempelajari agama Kristen sehingga kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Dia dikenal mampu berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Portugis (kreol) Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti "tuan guru". Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh orang – orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa ini nama itu nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh para pengemudi angkot (angkutan kota). Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun berkembang menjadi satelit Kota Batavia. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente (kotapraja) Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia. Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis digabungkan dengan Gemeente Batavia. Disamping kedudukannya sebagai gemeente, pada tahun 1924 Meester Cornelis dijadikan nama kabupaten, Kabupaten Meester Cornelis, yang terbagi menjadi 4 kewedanaan, yaitu Kewedanaan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang (Kolonial Tidschrifft, Maart 1933:1). Pada jaman Jepang pemerintah pendudukan jepang, nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara, bersetatus sebagai sebuah Siku, setingkat kewedanaan, bersama – sama dengan Penjaringan, Manggabesar, Tanjungpriuk, Tanahabang, Gambir, dan Pasar Senen. Ketika secara administrative Jakarta ditetapkan sebagai Kotapraja Jakarta Raya, Jatinegara tidak lagi menjadi kewedanaan, karena kewedanaan dipindahkan ke Matraman, dengan sebutan Kewedanaan Matraman. Jatinegara menjadi salah satu wilayah Kecamatan Pulogadung, Kewedanaan Matraman (The Liang Gie 1958:144). 31. Jatinegara Kaum. Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara Kaum, karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil dari bahasa Sunda, yang berarti "tempat timggal penghulu agama beserta bawahannya" (Satjadibrata, 1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu, penduduk Jatinegara Kaum umumnya berbahasa Sunda (Tideman 1933:10). Dahulu Jatinegara Kaum merupakan bagian dari kawasan Jatinegara yang meliputi hamper seluruh wilayah Kecamatan Pulogadung sekarang. Bahkan di wilayah Kecamatan Cakung sekarang, terdapat sebuah kelurahan yang bernama Jatinegara, yaitu Kelurahan Jatinegara. Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti. Yang jelas nama kawasan tersebut baru disebut-sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh Register) Kastil Batavia, waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta para pengikutnya. Pangeran Purbaya adalah salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari tahtanya oleh putranya sendiri, Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun 1682. Setelah tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara-saudaranya yang lain, seperti Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng Batavia. Kemudian , ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang ditempatkan dibeberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas, Citeurep, Ciluwar, dan Cikalong. Orang-orang Banten yang bermukim di Jatinegara, awalnya dipimpin oleh Pangeran Sangiang. Karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Kapten Jonker, kekuasaan Pangeran Sangiang di Jatinegara ditarik kembali, dan pada tahun 1680 diserahkan kepada Kiai Aria Surawinata, mantan bupati Sampora, kesultanan Banten (T.B.G. XXX:138) yang setelah menyerah kepada kompeni diangkat menjadi Letnan, di bawah Pangeran Sangiang. Sampai tahun 1689. Surawinata masih bermukim di Luarbatang . Setelah Kiai Aria Surawinata wafat, berdasarkan putusan Pimpinan Kompeni Belanda di Batavia tertanggal 27 Oktober 1699, sebagai penggantinya adalah putranya, Mas Muhammad yang Panca wafat, sebagai penggantinya ditunjuk salah seorang putranya, Mas Ahmad. Pada waktu para bupati Kompeni diwajibkan untuk menanam kopi di wilayahnya masing – masing, penyerahan hasil pertanian itu dari tahun 1721 sampai dengan tahun 1723. tercatat atas nama Mas Panca. Baru pada tahun 1724 tercatat atas nama Mas Ahmad. Pada tahun 1740 rupanya Mas Ahmad masih menjadi bupati Jatinegara atas nama Mas Ahmad berjumlah 2.372,5 pikul, kurang lebih 14.650 kg. 32. Kebantenan. Kawasan Kebantenan, atau kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman orang – orang Banten, dibawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa. Tentang keberadaan orang – orang Banten dikawasan tersebut, sekilas dapat diterangkan sebagai berikut. Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar) mendapat bantuan kompeni yang antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi – abdinya yang masih setia kepadanya.. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa mereka menyerahkan diri, Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati). Di Batavia awalnya mereka ditempatkan didalam lingkungan benteng. Kemudian Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi – abdinya diberi tempat pemukiman, yaitu di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citeureup, dan Cikalong. Karena dituduh terlibat dalam gerakan Kapten Jonker, Pangeran Purbaya dan adiknya. Pangeran Sake, pada tanggal 4 Mei 1716 diberangkatkan ke Srilangka, sebagai orang buangan.. Baru pada tahun 1730 kedua kakak beradik itu diizinkan kembali ke Batavia.. Pangeran Purbaya meninggal dunia di Batavia tanggal 18 Maret 1732. Perlu dikemukakan, bahwa disamping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada di barat daya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan sejarah Jawa Barat. 33. Kampung Ambon. Merupakan penyebutan nama tempat yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP. Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen dimukimkan orang Ambon itu lalu kita kenal sebagai kampung Ambon, terletak di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. 34. Kampung Bali. Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas dijadikan pemukiman orang-orang Bali, yang masing-masing dipimpin kelompok etnisnya. Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak dikenal. Seperti Kampung Bali dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester Corornelis, disebut Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur. Balimester tercatat sebagai perkampungan orang-orang Bali sejak tahun 1667. Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan, perkampungan itu berbatasan dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 – 1780), dimana dibangun sebuah gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan Gedung Arsip Nasional. Kampung Bali Angke sekarang menjadi kelurahan Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Di sana terdapat sebuah masjid tua, yang menurut prasasti yang terdapat di dalamnya, dibangun pada 25 Sya'ban 1174 atau 2 April 1761. Dihalaman depan masjid itu terdapat kuburan antara lain makam Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak yang riwayat hidupnya ditulis di Koran Javabode tanggal 17 Juli 1858. Dewasa ini mesjid tersebut biasa disebut Masjid Al- Anwar atau Masjid Angke. Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang – orang Bali di bawah pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan dengan pemukiman orang – orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau Jalan Pangeran Tubagus Angke sekarang . Perkumpulan itu dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Gusti (Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989). 35. Kampung Bandan. Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda Kelapa atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia) Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal – usul nama Kampung Bandan. 1. Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu ( periode kota Batavia) daerah ini pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini sangatlah lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan nama kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (arab), dan lain-lain. 2. Banda berasal dari kata Banda ( bahasa Jawa) yang berarti ikatan Kata Banda dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat masyarakat pada periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membawa pemberontak dengan tangan terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan eksekusi bagi pemberontak tersebut.. 3. Banda merupakan perubahan ucapan dari kataPandan. Pada masa lalu di kampung ini banyak tumbuh pohon, sehingga masyarakat menyebutnya dengan nama Kampung Pandan

Catatan dari FGD dengan Balitbang Kemdikbud tentang Ujian Nasional

Baiklah, saatnya saya melaporkan hasil Focus Group Discussion tentang Ujian Nasional dengan Balitbang Kemdikbud kemarin [24/10]. Ceritanya bermula saat saya menulis artikel berisi kritik terhadap Ujian Nasional dengan judl "Kuda Mati Bernama Ujian Nasional" yang dimuat oleh Media Indonesia pada tanggal 15 Oktober lalu. Tak disangka malamnya saya mendapat telepon dari pak Patdono Suwignjo, dosen saya di Teknik Industri - ITS dulu [ya, saya satu almamater dengan pak Nuh, bahkan beliau yang mewisuda saya dulu] yang sekarang adalah salah satu staf ahli Mendikbud. Pak Patdono mengatakan bahwa Balitbang Dikbud akan mengadakan FGD khusus membahas tentang Ujian Nasional dan mengundang saya untuk hadir. Wah, reaksi yang sangat cepat! Setelah mengalami penundaan sekali, FGD dijadwalkan berlangsung kemarin [24/10] dengan mengundang 18 petinggi Dikbud, 5 orang di luar Dikbud yang kritis terhadap UN, dan ada 1 lagi mantan petinggi Dikbud. Yang jadi hadir tentu tak sebanyak itu, tapi tak sampai setengahnya. Sehari sebelumnya, pada tanggal 23 Oktober, terbit tulisan di Media Indonesia oleh pak Sukemi, Stafsus Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media, dengan judul Mitos Keliru tentang Ujian Nasional yang menjadi bantahan untuk tulisan saya sebelumnya. Rupanya tulisan saya, tulisan pak Sukemi dan rencana FGD ini telah menjadi perbincangan hangat di beberapa grup pendidikan. Seharian sebelum FGD saya menerima banyak email dan sms dari teman-teman pemerhati UN yang memberikan saya titipan argumen dan opini untuk disampaikan di FGD, termasuk bantahan mereka terhadap tulisan pak Sukemi. Saya terutama dapat bahan tambahan dari pak Iwan Pranoto, Satria Dharma, Daniel Rosyid, Habe Arifin dan Sulistyanto Soejoso. [Terima kasih, Bapak2 sekalian.] Singkat cerita saya pun berangkat ke FGD pagi itu. Bertempat di Hotel Ambhara, saya pertama bertemu dengan pak Patdono yang kemudian mengenalkan saya pada Bapak/Ibu dari Kemdikbud yang sudah hadir. [Catatan: demi mempersingkat catatan, saya tak perlu sebutkan gelar dari masing2 orang ya.] Pak Patdono bercerita bahwa FGD semacam ini rutin diadakan oleh Dikbud sesuai dengan perintah pak Nuh yang mendorong berbagai bagian di Dikbud untuk rajin menampung pendapat dari masyarakat. Alhamdulillah, perlu diapresiasi, apalagi bila sampai pada tindak lanjut. Acara dibuka oleh moderator, pak Hurip Danu Ismadi, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan. Pak Danu sempat berkata bahwa kritik itu seperti obat, walau pahit kalau diminum dengan dosis yang pas akan menyehatkan, tapi kalau over dosis bisa bikin mati. He3, sindiran pertama ini. Acara kemudian dibuka dengan sambutan oleh pak Khairil Anwar Notodiputro, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan. Ia bercerita bahwa ini adalah FGD kedua yang diadakan tentang UN dan forum semacam ini diperlukan oleh Dikbud untuk menangkap aspirasi masyarakat, termasuk yang bersifat kritik. Ia kemudian berkata bahwa kritik ada yang proporsional tapi ada juga yang berlebihan alias lebay. Yak, sindiran kedua. Ia berkata bahwa banyak kritikan tentang UN yang bersifat generalisasi alias menganggap kejadian kecil sebagai kejadian yang meluas. Banyak juga kritikan UN yang bersifat observasi dan hipotesa, yaitu hanya bersifat dugaan dan tidak didukung riset dan kajian. Satu lagi, ia juga bilang bahwa banyak kritik UN tidak terkait dengan teknis maupun pembelajaran, namun bersifat politisasi, misal kritikan UN yang menganggap bahwa UN akan menyebabkan guru2 yg jelek akan "tersingkir". Saya tak pernah dengar kritik yang terakhir ini sih. Pak Khairil menyatakan juga bahwa kritikan bisa terjadi karena dua hal: perbedaan persepsi dalam memandang Ujian Nasional, dan juga perbedaan algoritma. Contoh dari perbedaan algoritma: ada yang memandang UN hanya bisa dilaksanakan sesudah semua standar kualitas layanan pendidikan terpenuhi secara merata, sedangkan Dikbud justru anggap UN diperlukan untuk memetakan kualitas pendidikan itu maka harus dilakukan sebelumnya. Setelah itu pak Khairil menerangkan beberapa contoh kritik terhadap UN dengan menyebutkan kritikan yang saya tulis di artikel, yaitu tentang UN bersifat high stake test dan kualitas soal yang low order of thinking, dan juga beberapa kritik lain seperti UN dianggap tidak konstitusional dan UN adalah satu-satunya penentu kelulusan. Ia menyatakan bahwa semua hal ini bisa dijawab oleh teman-teman Kemdikbud dalam diskusi ini. Ia juga menyatakan bahwa tidak pernah ada yang mengkritik tentang Ujian Sekolah yang tidak dilakukan dengan baik oleh banyak sekolah, padahal US juga menentukan kelulusan dan ia berharap UN dan US bisa saling melengkapi dengan baik. Pak Khairil juga mempresentasikan tentang sejarah ujian negara yang selalu ada sejak jaman kemerdekaan. Ia juga menampilkan dalam masing-masing format ujian negara, siapa yang menentukan kelulusan, apakah sekolah, negara, atau keduanya. Kelulusan saat ini ditentukan oleh sekolah dan negara. Setelah ini semua, ia kemudian mempersilahkan diskusi dimulai. Yang bicara pertama adalah pak Patdono sebagai Staf Ahli Mendikbud Bidang Pemantauan dan Pengembangan Organisasi. Ia hanya bicara singkat dan mengatakan bahwa berbagai kritik tentang UN sudah menjadi pembahasan sehari-hari di Dikbud dan banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan, alias sebenarnya sudah dilakukan oleh Kemdikbud tapi tidak diketahui masyarakat luas. Ia juga menyatakan ada kritik-kritik yang kontradiktif, misal soal dibilang terlalu mudah tapi kok juga dikritik bikin stress. [Rupanya ia salah menangkap kritikan tentang soal nirnalar sebagai menganggap soal terlalu mudah. Ia perlu baca tulisan pak Iwan Pranoto tentang ini. Soal bisa penuh dengan hapalan dan perhitungan rumit sehingga sulit, namun tetap bersifat nirnalar. Lagipula, stress di UN bukan disebabkan oleh tingkat kesulitan soalnya per se, namun lebih karena sifatnya yang high risk bagi siswa, guru dan sekolah.] Namun ia menyatakan hal ini adalah pertanda bahwa sosialisasi dan komunikasi yang diadakan Kemdikbud terkait UN kepada masyarakat belum berjalan efektif. Pembicara berikutnya adalah pak Akhmad Muchlis dari FMIPA-ITB yang juga salah satu kontributor Buku Hitam Ujian Nasional. Pak Muchlis menyampaikan bahwa ada tiga masalah yang ia lihat dalam UN, yaitu: pengukuran, pemanfaatan, dan dampak dari UN. Untuk pengukuran ia menanyakan apa perbedaan antara anak ang mendapat nilai 6 dan nilai 8 di UN. Tak banyak analisa yang bisa dimunculkan dari situ karena tidak ada profiling kompetensi yang jelas untuk UN. Masalah lain dalam pengukuran adalah kualitas soal. Dalam UN kebanyakan soal bersifat imitative reasoning, bukannya creative reasoning. Maka untuk lulus UN cukup dengan low order of thinking. Tentu saja beliau menjelaskan dengan panjang, namun saya tulis ringkasannya saja. Masalah berikutnya adalah UN sebagai pemetaan. Bila ia adalah pemetaan maka mana hasilnya dan apa saja yang bisa kita pelajari dari hasil itu. Lalu kemudian apa saja intervensi yang bisa dilakukan. Sebelumnya ada slide yang ditampilkan oleh teman-teman Dikbud saat pak Khairil bicara, tentang contoh intervensi yang dilakukan terhadap sekolah yang bernilai rendah. Menurut pak Muchlis, dari contoh intervensi itu terlihat bahwa intervensi yang dilakukan tidaklah cukup dan tidak komprehensif, karena memang data yang dihasilkan tidak komprehensif pula. Masalah ketiga adalah dampak UN, yaitu teaching-to-the-test alias guru hanya menyiapkan siswa untuk lulus tes, serta pemampatan pembelajaran di mana guru menyampaikan kurikulum kelas terminal dalam waktu hanya setengah tahun ajaran lebih sedikit, lalu sisanya dipakai untuk persiapan UN. Dua dampak ini tentu saja tidak membawa manfaat untuk pembelajaran. [Saya tak ada tanggapan untuk ini, lha ya memang saya setuju. Saya cuma heran aja pak Khairil bilang kalau kebanyakan kritik UN tak terkait dengan pembelajaran dan teknis, tapi lebih bersifat politisasi. Lha kritik pak Muchlis ini adalah contoh kritik yang sepenuhnya tentang pembelajaran, dan kritik semacam ini sudah sering disuarakan.] Giliran berikutnya adalah giliran saya. Ini jadi satu-satunya kesempatan saya bicara, cukup lama, sekitar 25 menit. Memang kebanyakan peserta hanya sempat bicara satu kali, tapi waktunya lama. Saat mengenalkan saya, pak Danu sebagai moderator sempat menyebutkan judul artikel saya, "Kuda Mati Bernama Ujian Nasional". Lalu ia berkata, "Menarik ini, masa' kita disamakan dengan kuda?" Lah, sudah jelas yang saya analogikan dengan kuda mati itu adalah Ujian Nasional yang saya anggap tak efektif penuhi tujuannya. Kenapa ia yang merasakan disamakan dengan kuda? Yah, sudah lah, saya senyum saja sambil teringat tweet pak Iwan Pranoto yang membahas kemampuan literasi pejabat Dikbud. Saya sempat bingung mau bicara apa lagi karena apa yang mau saya bicarakan berdasar artikel yang saya tulis itu sudah dibicarakan oleh pak Khairil dan pak Muchlis duluan. Saya membuka dengan mengenalkan diri dan Bincang Edukasi dulu. *ehem Sesudah itu saya bicara tentang para penentang UN itu beragam, ada spektrumnya, mulai dari yang hanya ingin menghapuskan kecurangan, sampai ang menghapuskan UN secara total. Maka kami yang ada di forum itu tak bisa dianggap mewakili seluruh spektrum penentang UN, sehingga perlu lebih sering diadakan forum pembahasan tentang UN dan alternatifnya. Saya lalu menyatakan apresiasi bagi Kemdikbud yang mulai melembagakan kritik dan berterima kasih karena saya diundang setelah menulis artikel itu, bahkan dibalas khusus oleh pak Sukemi yang sayangnya tidak bisa hadir. Saya katakan bahwa apa yang saya tulis di artikel itu tidaklah baru, sudah banyak yang menyuarakan dengan lebih lengkap, seperti apa yang ada di Buku Hitam Ujian Nasional. Hanya mungkin analogi yang saya gunakan baru dan cukup nyelekit sehingga menarik perhatian. Padahal ada juga yang menulis lebih sadis daripada saya, seperti Prof. Tilaar yang mengatakan bahwa UN adalah untuk kepentingan penguasa, menempatkan orang tua sebagai pesakitan, guru sebagai tertuduh, murid sebagai objek eksperimen penguasa dan sekolah sebagai penjara. Ngeri. Saya kemudian menegaskan lagi bahwa ada dua masalah besar di UN bagi saya. Masalah pertama adalah posisinya sebagai high stake test bagi murid, guru, sekolah dan pejabat Diknas daerah yang justru menyebabkan berbagai masalah turunan seperti teaching-to-the-test, penyempitan kurikulum, hierarkisasi mata pelajaran, kecurangan masif dan sistematis, budaya keterpaksaan belajar, budaya instan, budaya pragmatis, budaya nirnalar, dan lainnya. Semua ini justru merusak kredibilitas UN sebagai alat pemetaan. Masalah berikutnya adalah kualitas soal yang low order of thinking, tapi saya tak bahas panjang lebar karena sudah dibahas pak Muchlis. Saya hanya mempertanyakan bila UN tak hanya low order order of thinking seperti diklaim pak Sukemi lalu mengapa di tes perbandingan dan bersifat global seperti PISA siswa-siswa kita justru terpuruk sangat parah dan tidak naik-naik. Setelah itu, karena pak Sukemi tidak hadir dan tidak ada yang berencana mewakilinya menyampaikan tulisannya, maka saya pun memutuskan membahas tulisannya dan menyampaikan sanggahan. Tak semua sanggahan berasal dari saya karena sudah banyak yang membaca tulisannya dan mengirim pula sanggahan mereka melalui saya. Poin pertama pak Sukemi adalah tentang keputusan MA. Untuk hal ini saya hanya menyampaikan pada peserta untuk membaca tulisan Sammy Semino yang berjudul UN dan Kepastian Hukum. Tulisan itu membahas analisa semantik amar putusan MA tentang UN, terutama poin nomor 3. Silahkan baca tulisannya di tautan ini. Poin kedua tentang UN bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Untuk ini saya bilang semua penentang UN juga sudah tahu, memangnya kami tak baca koran. Lalu saya loncat membahas tentang poin nomor 4 yang masih terkait tentang kelulusan seorang siswa sangat bergantung pada sekolah dan dewan guru. Pak Sukemi mencontohkan bahwa bila anak lulus UN, pintar selama di sekolah, namun punya masalah moral di luar kewajaran, sekolah bisa tak meluluskannya. Namun sayang pak Sukemi tak menulis contoh sebaliknya bahwa bila anak pintar selama di sekolah, moralnya baik, namun UN jelek, ya tak lulus juga. Setelah itu saya menanggapi poin nomor 3 dan nomor 7 dari tulisan pak Sukemi tentang UN tidak hanya menguji low order of thinking. Pak Sukemi menulis bahwa mereka yang mengira bahwa UN hanya menguji low order of thinking adalah karena modelnya pilihan ganda. Halah. Ini meremehkan para profesor yang menyatakan bahwa UN hanya uji low order of thinking. Masa' mereka sebegitu bodohnya? Tentu saja bukan karena model pilihan berganda UN dibilang hanya uji low order of thinking, lha PISA yang uji tingkat kognisi yang lebih tinggi pun juga menggunakan pilihan berganda sebagai salah satu formatnya. Pilihan berganda memang punya keterbatasan, tapi bukan hanya karena itu UN dianggap hanya menguji low order thinking oleh para penentang UN. Pak Sukemi menulis bahwa UN juga menguji kemampuan analisa dan sintesa siswa. Nah ini, baru mulai berlebihan klaimnya. Saya sampaikan tanggapan yang dikirim pada saya oleh pak Daniel Rosyid bahwa tak mungkin UN yang berisi 40 soal dan harus dikerjakan dalam waktu 120 menit mampu menguji kemampuan analisa dan sintesa. Untuk uji sintesa, 120 menit itu hanya bisa untuk 1 soal, karena sintesa itu melibatkan proses analisa berulang, trial and error, membangun solusi kreatif [sedangkan pilihan jawaban yang disediakan justru mematikan kreativitas]. Yang lebih parah adalah poin nomor 7 di mana pak Sukemi menyatakan bahwa UN adalah multimeter untuk menguji kualitas siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode pengajaran, serta sarana dan prasarana. Luar biasa! Ini adalah alat uji terbaik di dunia! Saya sampaikan guyonan di suatu milis pendidikan yang mengatakan bahwa UN mengukur sedemikian banyak hal, maka untuk daerah seperti Jawa Tengah yang tingkat kelulusannya mencapai 99,98% maka sarana dan prasarana tak perlu ditingkatkan lagi, takutnya kalau ditingkatkan lagi nanti yang lulus malah 120%. Setelah itu saya menanggapi poin nomor 5 dan 6 dari tulisan pak Sukemi yang menganggap bahwa sudah biasa kalau ada peningkatan stress sebelum ujian. Saya katakan tentu saja ini menurunkan tingkat masalah. Kalau stress memang bisa baik bagi siswa, bahkan ada penelitian yang mengatakan lingkungan belajar yang bebas distraksi dan tantangan itu tak baik untuk pembelajaran. Namun seberapa tingkat stress yang baik dan seberapa yang sudah dianggap berlebihan. Tentu saja keluhan masyarakat terkait stress ini adalah karena melihat tingkat stress dari para pelaku pendidikan saat menghadapi UN yang sudah dianggap tak sehat. Setelah itu, poin nomor 8 dari tulisan pak Sukemi terkait dengan UN yang selalu bocor dan penuh kecurangan hanya dianggap mitos oleh beliau. Saya katakan, jangan khawatir, banyak teman-teman yang sudah, sedang dan akan terus mengumpulkan data terkait hal ini dan Dikbud harusnya bisa melihat juga bila tak menyengaja menutup mata. Untuk masalah stress dan kecurangan ini ternyata nanti dibicarakan detail beserta contoh-contoh kasusnya oleh bu Retno, guru SMA 13 yang juga mewakili Federasi Serikat Guru Indonesia. Terakhir, poin nomor 9, pak Sukemi menyatakan bahwa anggapan UN tak membawa manfaat bagi pendidikan Indonesia adalah mitos. Saya mengingatkan bahwa pak Akhmad Muchlis sebelumya sudah menyatakan bahwa UN memiliki tempatnya di Pendidikan Nasional dan bila diposisikan dengan baik tentu akan membawa manfaat. Masalahnya penempatannya saat ini sebagai exit exam yang bersifat high stake bagi para pelaku pendidikan justru menyebabkan UN tidak efektif dan tidak kredibel sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan. Saya katakan ulang bahwa saya tak menginginkan UN dihapuskan, namun UN selayaknya direposisi menjadi uji diagnostik [bukan penentu kelulusan] dan dilepaskan dari sifat high stake. Saya bahkan tak bermasalah bila Dikbud punya 10 macam uji diagnostik untuk siswa selama tak bersifat high stake dan tak difungsikan sebagai exit exam. Selain itu saya mengusulkan memperbanyak riset dan kajian komprehensif terkait Ujian Nasional, karena ada banyak kesempatan riset yang bisa dilakukan terkait UN yang dapat menjadi titik cerah dari perdebatan selama ini, tentu saja bila dilaksanakan dengan objektif dan ilmiah, serta terbuka untuk diverifikasi dan direplikasi. Saya pun mengakhiri sesi bicara saya. Setelah saya, yang berikutnya bicara adalah pak Hari Setiadi, Kepala Puspendik. Saya salut dengannya karena saya mendapat kesan ia santun, tak menutupi masalah dan terbuka terhadap pendapat berbeda. Contohnya, pernyataan pertamanya menanggapi pak Akhmad Muchlis dengan mengakui bahwa selama ini belum ada laporan komprehensif yang terbuka tentang hasil Ujian Nasional, dan menjadikan keterangan pak Muchlis sebagai masukan perbaikan ke depannya. Ia lalu menjelaskan bahwa UN memang bukan satu-satunya penentu, siswa bisa lulus tingkat satuan pendidikan walau tak lulus UN. [Kita semua tahu bahwa UN memang sudah bukan satu-satunya penentu kelulusan yang punya hak veto terhadap hasil sekolah, namun bukan berarti UN sekarang menjadi tak menentukan. Sifat high stake juga masih melekat karena UN dijadikan parameter bagi guru, sekolah dan daerah yang akan dianggap bagus atau jelek.] Ia lalu mengulang pernyataan pak Khairil bahwa belum ada yang memprotes tentang Ujian Sekolah yang tak dijalankan dengan baik oleh banyak sekali sekolah. Banyak sekolah justru memanipulasi nilai Ujian Sekolah agar lebih tinggi. [Para penentang UN justru melihat bahwa konsekuensi dari sifat high stake UN menjadi gamblang terlihat setelah US memiliki porsi 40% menentukan kelulusan sehingga banyak sekolah memanipulasi nilai US karena khawatir nilai UN siswanya tak mencukupi.] Ia berkata bahwa Dikbud berusaha membuat Ujian Sekolah bisa memiliki kualitas sebaik Ujian Nasional.[Nah, ini. Saya jelas tak setuju dengan pernyataan ini karena ia mengasumsikan bahwa US itu semuanya lebih jelek daripada UN, padahal banyak model US yang lebih baik daripada UN seperti menggunakan dynamic assessment atau portfolio assessment. Namun ia menyatakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh dan niat baik yang terlihat, maka saya menyadari bahwa memang hal itu yang sungguh-sungguh ia percayai.] Pak Hari kemudian menyatakan bahwa UN tidaklah bersifat high stake karena yang lulus saja sudah 95% maka tidak menakutkan. [Tentu saya berpendapat UN menakutkan atau tidak bukan dilihat dari tingkat kelulusannya, tapi dilihat dari risiko yang dihadapi mereka yang terkait dengan UN.] Ia lalu menyatakan bahwa sudah pernah melakukan berbagai diskusi tentang alternatif penempatan UN, termasuk apabila sekolah diberi kebebasan penuh apakah akan menggunakan UN 0% sampai 100%. Jadi sekolah menentukan sendiri apakah akan pakai UN 100%, atau US 100%, atau gabungan keduanya yang mereka tentukan sendiri proporsinya. [Setelah diskusi selesai pak Muchlis mengatakan pada saya bahwa ia mendukung bila Dikbud menerapkan ini.] Namun ia juga terpikirkan banyak hal lain, seperti apakah siswa akan meningkat motivasi belajarnya dan apakah siswa kita akan kompetitif bila tak ada UN sebagai penentu kelulusan. Rupanya ia terpengaruh mazhab forced learning, saya pernah menulis tentang apa yang ia tanyakan ini saat saya menanggapi tulisan Prof. Kacung Marijan. Pak Hari juga menerangkan bahwa yang dimaksud oleh pak Sukemi saat menulis UN adalah multimeter yang bisa mengukur banyak hal adalah: dari hasil UN, Kemdikbud bisa melihat sekolah-sekolah mana saja yang jelek, maka bisa dianalisa lebih lanjut faktor apa dari berbagai faktor yang disebutkan pak Sukemi yang meyebabkannya, lalu Kemdikbud bisa melakukan intervensi. Jadi hasil UN adalah entry point untuk Kemdikbud melakukan pembenahan. [Lagi-lagi, banyak asumsi yang tak tepat dalam pernyataan ini. Pertama, dari sini terlihat bahwa UN dianggap sebagai parameter tunggal kualitas pendidikan. Maka sekolah yang nilai UN-nya baik tak dianggap bermasalah dari segala faktor yang ditulis oleh pak Sukemi. Kedua, ia berasumsi bahwa nilai UN valid dan kredibel, tanpa kecurangan dan pengakalan oleh para pelakunya, maka yang nilainya baik memang benar-benar baik dan tak perlu intervensi.] Tapi saya senang melihat keterbukaan pak Hari Setiadi dalam menyampaikan pandangannya dan saya ingin berdiskusi lebih lanjut dengannya. Peserta berikutnya yang menyampaikan pendapat adalah pak Teuku Ramli Zakaria dari Badan Nasional Standarisasi Pendidikan. Pada saat beliau menyampaikan pendapatnya saya sedang disibukkan dengan catatan saya sehingga tak banyak yang sempat saya catat dari pernyataan beliau. Yang jelas, ia pun saya anggap sebagai orang yang mau mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat yang berbeda dengan sungguh-sungguh. Dari sesi bicaranya, saya hanya sempat mencatat bahwa UN berfungsi mengukur kompetensi minimal lulusan sekoah. Jadi UN adalah wujud akuntabilitas pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan. Saya sempat bertanya pada beliau sesudah diskusi, siapa yang berwenang menempatkan UN sebagai high stake exit exam. Ia menjawab bahwa hal itu diatur dalam PP No 19 Tahun 2005, jadi Dikbud ada dalam posisi melaksanakan amanah PP itu. Ia tampaknya terfokus tentang fungsi UN sebagai alat uji kualitas dan ia pun tampak peduli pada kualitas dan kredibilitas UN sebagai alat uji. Maka saya berdiskusi dengannya sesudah acara FGD selesai dan mengatakan bahwa penempatan UN sebagai high stake test memunculkan masalah-masalah turunan yang nyata di lapangan sehingga bisa menyebabkan hasil UN menjadi tak kredibel. Tentu ini bertentangan dengan kepentingannya. Ia mengatakan bisa memahami pandangan saya dan mengajak saya main ke BSNP di lain waktu untuk berdiskusi lebih lanjut. Saya menyanggupinya. Sebelum moderator pindah ke peserta berikutnya, pak Akhmad Muchlis melakukan interupsi dan menyatakan bahwa ia dan saya telah menyatakan dengan jelas dan eksplisit bahwa kami tak minta UN dihapus, namun direposisi sebagai alat uji diagnostik yang tak bersifat high stake exit exam. Maka tak perlu lagi teman-teman Dikbud berpikir dan mengatakan bahwa kami ingin menolak UN atau menghapuskannya secara total, karena akan menyebabkan diskusi tak efektif. Peserta berikutnya adalah pak Burhanuddin Tola. Saya belajar paling banyak darinya di FGD ini walaupun ia beda mazhab dengan saya. Sayangnya ia berbicara agak lompat-lompat seperti saya, maka saya agak kesulitan mencatat dan menceritakan kembali pernyataan2nya. Pak Burhan adalah ahli psikometri dan mantan petinggi di Kemdikbud yang ikut terlibat dalam penyusunan UU Sisdiknas serta perancangan Ujian Akhir Nasional di tahun 2003 lalu. Jadi ia adalah salah satu penggagas UN. Ia juga adalah country manager untuk PISA tahun 2009. Ia lalu bercerita tentang sejarah ujian negara di Indonesia yang membuat Indonesia menjadi unggul dan mengajari guru-guru di Malaysia. Namun pada tahun 1971 penentu kelulusan berubah menjadi Ujian Sekolah dan menurutnya ini adalah salah satu penyebab kemunduran kita. Sedangkan Malaysia sekarang juga jadi bagus karena dulu diajari cara melaksanakan ujian negara oleh Inggris. Ia bercerita bahwa ia adalah penganut Quality Assurance, Quality Control dan Quality Improvement. Untuk Indonesia ada permasalahan luas wilayah serta rasa kebersamaan. Itu adalah salah satu alasan mengapa ia usulkan satu tes untuk seluruh wilayah Indonesia untuk awalnya. Namun ia juga menyatakan bahwa dalam bayangannya dulu UN akan menjadi seperti PISA dan TIMMS yang menguji tingkat yang lebih tinggi daripada sekadar kognisi rendah. Ia juga katakan bahwa UN tak seharusnya menjadi menakutkan bila melihat semangatnya di perancangan awalnya dulu. Di sesi lain ia sempat menanggapi pernyataan pak Darmaningtyas tentang UN tak bisa seragam di seluruh Indonesia dengan menyatakan bahwa dulu ada rencana membentuk Local Examination Agency yang bertugas menjadi badan penilaian pendidikan di tingkat daerah. Jadi tiap daerah bisa berbeda. Menurut saya ini sudah lebih mendekati yang ideal yaitu per sekolah. Ia bertanya pada forum [walau sebenarnya lebih ditujukan pada Kemdikbud], "Hanya masalahnya kita berani nggak?" Tapi ia juga menjelaskan bahwa ada masalah mendapatkan buy-in dari seluruh daerah bila ingin lakukan desentralisasi penilaian pendidikan. Ia khawatirkan daerah-daerah di Indonesia tak mau menerapkan standar penilaian rendah untuk daerahnya karena gengsi, maunya sama dengan yang tertinggi. Saya pikir ini kekhawatiran yang valid dan memang bisa jadi daerah justru berlomba menerapkan standar penilaian tinggi. Tugas pemimpin untuk memberi edukasi pada daerah. Saya merasa tak cukup baik dalam mencatat pernyataan-pernyataan beliau. Sayang juga karena saya ingin belajar darinya yang bermazhab standardized test sebagai penentu kelulusan, walau saya tak sealiran dengannya. Saya lebih cenderung setuju dengan Prof. Tilaar yang juga ia kenal baik. Tapi saya juga merasa bahwa ia beranggapan bukan seperti saat inilah Ujian Nasional yang direncanakannya dulu. Ia toh sempat menyebutkan bahwa yang ideal adalah Local Examination Agency, lalu soal-soal UN seharusnya bisa menyerupai PISA dan TIMMS, serta UN saat ini memang miskin dan dangkal dalam laporan. Oleh karenanya saya juga ingin berdiskusi lebih lanjut dengan beliau. Pembicara berikutnya adalah bu Retno, guru SMA 13 yang juga mewakili Federasi Serikat Guru Indonesia. Ia memulai dengan mengapresiasi forum dialog yang diadakan Kemdikbud, lalu melanjutkan dengan berbagai laporan dampak, kecurangan dan penyimpangan UN yang dikumpulkan oleh FSGI. Banyak sekali lah. Ia sampaikan dengan berapi-api, cepat, dan seperti tak ada habisnya segala permasalahan nyata di lapangan. Pada intinya, fakta-fakta yang ia sampaikan membuktikan argumen para penentang UN bahwa penempatan UN sebagai high stake bagi para pelaku pendidikan telah menimbulkan berbagai masalah turunan yang tak hanya menyebabkan UN tak kredibel, namun juga dampak yang lebih parah pada siswa, guru dan sekolah. Herannya, walau ia sudah bolak-balik menyatakan bahwa semua yang ia sebutkan itu ada data dan faktanya [bahkan beberapa ada videonya], beberapa orang Dikbud, termasuk pak Khairil Anwar dan pak Patdono, masih saja menyatakan bahwa kita tak boleh melakukan generalisir karena sebagian kecil penyimpangan UN kita anggap UN telah bermasalah secara masif. Ampun deh. Sepertinya rencana teman-teman IGI untuk mengumpulkan dan membukukan testimoni para siswa, guru dan ortu terkait penyimpangan UN dari seluruh Indonesia perlu segera diwujudkan. Setelah bu Retno bicara, pak Danu sebagai moderator sempat nyeletuk, "Ini menarik. Bayangkan bila UN saja dicurangi sedemikian rupa oleh para siswa dan guru, bagaimana bila kelulusan dikembalikan pada Ujian Sekolah?" Nah, ini pernyataan paling nggak ok dalam diskusi ini menurut saya. Kesimpulan macam apa itu? Bu Retno pun langsung berkomentar, "Belum tentu itu, Pak, belum tentu!" Yang bicara sesudah bu Retno adalah pak Darmaningtyas. Di sesi ini saya pun tak banyak mencatat apa yang diungkapkan beliau karena saya sibuk merapikan catatan saya. Mungkin juga karena saya merasa apa yang disampaikannya pasti lah sejalan dengan apa yang ia sampaikan selama ini tentang UN, bahwa UN selayaknya diposisikan benar-benar sebagai pemetaan yang lepas dari penentuan kelulusan. Ia banyak bercerita tentang perjalanan argumentasi para penentang UN sejak diluncurkan dahulu. Ia juga bercerita temuan penyimpangan dan pengalaman para guru yang dikenalnya terkait dengan UN. Ia menyebutkan bahwa tak layak seluruh Indonesia ini memakai satu ujian, lalu ia juga mengatakan bahwa tak apa bila UN berfungsi sebagai salah satu alat pemetaan kualitas pendidikan namun sungguh tak layak bila jadi satu-satunya parameter kualitas pendidikan. Setelah sesi pak Darmaningtyas ini ada beberapa orang yang tadi sudah bicara kembali berbicara singkat, tapi sudah sekalian saya tuliskan tadi saat membahas masing-masing peserta. Pak Patdono sebagai staf ahli kembali dipersilahkan bicara dan ia menyatakan bahwa perlu segera diadakan kajian-kajian komprehensif terkait UN ini karena selama ini masih terlalu sedikit, termasuk kajian tentang sistem ujian dan evaluasi di negara-negara lain. Ia lalu menyatakan pula bahwa ia saja mendapat laporan tentang UN karena diminta pak Nuh ikut mengawasi intervensi, jadi apabila ia tak diminta mungkin ia tak dapat laporan tentang UN, apalagi orang luar. Pernyataan ini diamini oleh bu Retno yang menyatakan pernah meminta hasil pemetaan UN dengan membawa surat berkop resmi dari FGSI, itu pun tak diberi oleh Kemdikbud. Jadi pak Patdono mendorong publikasi dan transparansi hasil pemetaan Ujian Nasional. Saya sepakat dengan kesimpulan pak Patdono, kecuali saat ia menyatakan penyimpangan UN sifatnya kasuistik dan tak bisa dijadikan alasan generalisasi bagi UN yang diikuti jutaan peserta. Selanjutnya yang bicara sebagai penutup adalah pak Khairil Anwar Notodiputro sebagai tuan rumah yang mengadakan acara. Ia menyatakan sekali lagi bahwa banyak kritik tentang UN yang bersifat lebay, generalisir dan hanya observasi atau hipotesa. Namun ia juga mengatakan bisa menemukan beberapa masukan yang bagus dari diskusi kali ini, terutama terkait posisi UN. Setelah itu ia mengatakan bahwa ada dua hal yang sama-sama disepakati dari pertemuan kali ini. Yang pertama, perlu segera diadakan riset/kajian komprehensif tentang berbagai alternatif posisi UN dalam Sisdiknas. Yang kedua, perlu segera diadakan riset/kajian komprehensif tentang alternatif alat uji dan evaluasi selain UN, terutama contoh-contoh best practices yang dilakukan negara-negara lain serta analisa kelayakan dan manfaatnya bila diterapkan di Indonesia. Nah, kenapa usulannya cuma riset? Ya maklum lah, yang adakan FGD ini kan Balitbang. Sedangkan pengambil keputusan tertingginya tak ikutan hadir. Tapi dari dua hal yang disepakati itu saja saya sudah melihat ada pengakuan Balitbang Dikbud tentang ketidakabsolutan posisi UN saat ini, bahkan tentang ketidakabsolutan format UN itu sendiri. Maka ini sudah satu langkah maju. Tapi ya hanya satu langkah. Masih harus didorong lebih jauh dengan melibatkan lebih banyak petinggi Dikbud, terutama mereka yang memegang wewenang mengambil keputusan strategis. Maka tentu saja, walau mengapresiasi inisiatif Kemdikbud melembagakan kritik serta mengapresiasi pula keterbukaan yang saya rasakan dari beberapa peserta diskusi dari Kemdikbud, tapi saya tak langsung puas dengan FGD kali ini dan akan terus memperjuangkan reposisi UN menjadi alat uji diagnostik, pelepasan sifat high stake dari UN, serta perbaikan kualitas soal UN menjadi lebih bernalar. Saya pun mendorong rekan-rekan pegiat pendidikan untuk ikut memperjuangkannya demi anak-anak bangsa. Perjuangan bisa dengan tulisan [ada yang ingin menanggapi tulisan pak Sukemi lagi? He3.], bisa juga dengan berdiskusi dengan mereka yang belum tersadarkan tentang UN yang penuh dengan kontroversi. Sebagai referensi awalan, saya rekomendasikan teman2 cari dan baca Buku Hitam Ujian Nasional yang ada di toko buku untuk mendapat gambaran dari para pakar dan praktisi pendidikan yang kritis terhadap UN. Bagaimana dengan referensi yang pro UN? Tunggu saja, kabarnya Kemdikbud sedang menyusun Buku Putih Ujian Nasional untuk mengimbangi "mitos keliru tentang UN" yang beredar di masyarakat. Tentu itu adalah sesuatu yang perlu diapresiasi dan layak kita tunggu untuk memancing diskursus yang berkelanjutan dan, semoga, berujung perbaikan nyata. Karena seperti kata pak Darmaningtyas dalam FGD, "Bukankah kita semua menginginkan pendidikan Indonesia yang lebih baik?" Salam pendidikan. ~Kreshna Aditya Catatan: Apa yang saya catat ini adalah sesuai dengan apa yang saya tangkap dalam diskusi. Tentu ada keterbatasan dalam kelengkapan dan mungkin juga akurasi. Yang jelas tak ada maksud mengurangi, menambah atau membelokkan konteks pernyataan-pernyataan yang ada. Apabila ada dari peserta diskusi yang membaca catatan ini dan merasa ada yng kurang atau tak akurat dalam pernyataan saya, mohon saya diberi tahu.